Senin, 19 Desember 2016

pendekatan teologi-normatif by kel.1



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

lslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan iptek, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokraris, berorientasi pada kualitas.kemitraan, egaliter, anti feodalistik, cinta kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap positif lainnya. Dengan demikian Islam mengajarkan hal kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menentukan arah serta tujuan kehidupannya. Di indonesia islam hanya mengenal dari aspek teologi saja itupun dalam segi aliran tradisional.
Demikian juga aspek-aspek lain seperti moral, mistis, filsafat, sejarah, kebudayaan serta aliran dan mazhab lain kurang dikenal. Situasi keberagaman.di Indoneria cenderung menampilkan kondisi keberagaman yang legalistik formalistik, agama hanya dimanifestasikan dalam bentuk ritual formal sehingga muncul formalisasi keagamaan yang lebih mementingkan “benluk” dari pada “isi”. Akibatnya agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Akibat dari kesalahpahaman memahami simbol-simbol keagamaan itu, maka agama lebih dihayati sebagai penyelamat individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama.
Muhaimin mengatakan bahwa pendekataan studi keislaman yang mendominasi kalangan ulama selama ini lebih cenderung bersifat subyektif dan doktriner serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan oleh kalangan luas islam yang sumber dasarnya Al-Qur’an dan Hadits yang ada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan dan perubahan zaman telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan akal rasionalitas dan tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Jadi pendekatan ini mempunyai metode sendiri yang lama kelamaan sumber dasarnya jauh dari dua hokum dasar agama Islam. Karena sifatnya yang tradisional dan hanya mengandalkan rasional yang tidak mengandalkan akan kemajuan zaman maka aliran ini sangat dipercayai dan di negeri kita tercinta ini.
Kemudian ada seorang ulama yang menjelaskan tentang salah stu pemahaman umat Islam seperti negeri kita ini masih menggunakan metode parsial yaitu karena adanya kesalahan dalam metode yang digunakannya. Ada dua kesalahan dalam metode yang digunakan ulama termasuk di Indonesia, yaitu pertama Selama ini ahli-ahli ilmu pengetahuan termasuk dalam hal ini para orientalis mendekati Islam hanya menggunakan kacamata ilmiah saja sehingga penelitian  ini belum menyeluruh dan sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh, yang mereka ketahui hanya ekternalitas (segi-segi luarnya saja). Kedua,sebaliknya para ulama sudah terbiasa menggunakan ajaran Islam doktriner dan dogmatis.
Yang dimaksud dengan pendekatan menurut bahasa Inggris approach yang berarti cara pandang atau paradigm terhadap suatu benda. Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa pendekatan berarti 1) proses pembuatan, cara mendekati 2) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan terhadap orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Dalam bahasa Arab disebut sebagai madkhal. Dalam konteks agama, pendekatan yaitu cara pandang atau paradigama yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Studi Islam membutuhkan bantuan metodologi untuk mengungkap data-data keagamaan guna memahami lebih arif bahwa semua agama yang memiliki kendaraan historis empiris yang khusus (partikular) dapat memiliki elem keagamaan yang sama, yang dipahami secara transedental-universal.

B. Rumusan Masalah

1.    Apa itu Teologi dan Norma?
2.    Bagaimana pendekatan teologi-normatif?
3.    Apa saja macam-macam pendekatan normatif?

C. Tujuan Penulisan

1.    Menjelaskan makna Teologi dan Norma.
2.    Menjelaskan cara pendekatan teologi-normatif.
3.    Menyebutkan macam-macam pendekatan normatif.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teologi dan Norma

Teologi berasal dari bahasa Yunani theos yang berarti "Allah, Tuhan", dan logia yang berarti "kata-kata," "ucapan," atau "wacana" yaitu sebuah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwardamita arti kata teologi pengetahuan tentang Tuhan, dasar-dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama berdasarkan pada kitab-kitab Suci.[1] Sedangkan menurut Liddel dan Ccott, kata Teologi mengandung 233 derivasi dan 222 terkait dengan Tuhan. Sehingga menurutnya sangat logis jika umat Islam dalam memahami agamanya menggunakan pendekatan teologis dengan doktrin yang memperkuat keyakinan bahwa agama bagi Allah adalah Islam[2].
Secara terminologi teologi telah menjadi disiplin ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau manfaat dalam penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teologi menjadi demikian sangat berarti, karena keberadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, yakni: (1) syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis (procedure), dan (3) syarat aksiologis (makna atau manfaat).[3] Karena keabsahan dan keakuratan dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan, rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap agama tidak persis sama.
Norma atau kaidah adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ketentuan tersebut mengikat bagi setiap manusia yang hidup dalam lingkungan berlakunya norma tersebut, dalam arti setiap orang yang hidup dalam lingkungan berlakunya norma tersebut harus menaatinya.
Pada umumnya norma hanya berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu atau dalam suatu lingkungan etnis tertentu atau dalam suatu wilayah negara tertentu. Namun demikian ada pula norma yang bersifat universal, yang berlaku di semua wilayah dan semua umat manusia, seperti misalnya larangan mencuri, membunuh, menganiaya, memperkosa, dan lain-lain. Di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam norma. Jenis-jenis norma antara lain[4]:
1.     Norma susila, yaitu peraturan hidup yang berasal dari hati nurani manusia. Norma susila menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Norma susila yang mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya. Norma susila melarang manusia untuk berbuat tidak baik, karena bertentangan dengan hati nurani setiap manusia yang normal. Contoh-contoh norma susila  antara lain: Jangan mencuri barang milik orang lain. Jangan membunuh sesama manusia. Hormatilah sesamamu. Bersikaplah jujur.
2.     Norma kesopanan, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari pergaulan dalam masyarakat. Dasar dari norma kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering dinamakan norma sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma sopan santun yang aktual dan khas berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Contoh-contoh norma kesopanan, antara lain: Yang muda harus menghormati yang lebih tua usianya. Berangkat ke sekolah harus berpamitan dengan orang tua terlebih dahulu. Memakai pakaian yang pantas dan rapi dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Janganlah meludah di dalam kelas.
3.     Norma agama, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya berupa larangan, perintah-perintah, dan ajaran. Norma agama berasal dari wahyu Tuhan dan mempunyai nilai yang fundamental yang mewarnai berbagai norma yang lain, seperti norma susila, norma kesopanan, dan norma hukum.  Contoh-contoh norma agama, antara lain: Tidak boleh membunuh sesama manusia. Tidak boleh merampok harta orang lain. Tidak boleh berbuat cabul. Hormatilah bapak ibumu. Terhadap pelanggar norma agama akan dikenakan sanksi oleh Tuhan kelak di akhirat nanti, yang dapat berupa dimasukkan dalam neraka.
4.     Norma hukum, yaitu ketentuan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam per­gaulan hidup di masyarakat dan mengatur tata tertib kehidupan ber­masyarakat. Contoh Pasal 362 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

B. Pendekatan Teologi-normatif

Pendekatan teologis merupakan pendekatan memahami ajaran agama secara subjektif dan bertolak dari teks-teks normatif  ajaran agama. Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik suatu keagamaan, dianggap sebagai hal yang paling benar dibanding dengan yang lain.[5] Pernyataan di atas merupakan pengklaiman suatu oknum atau kelompok sebagai pihak yang paling benar. Bila hal ini terjadi cenderung kita selalu menyalahkan dan mengkafirkan pihak yang lain. Imam Syafi’I berujar “Pendapat kami benar tetapi mungkin mengandung kesalahan dan pendapat kalian salah tetapi tidak menutup kemungkinan benar”. Dari pernyataan Imam Syafi’I suatu manifestasi bahwa kebenaran yang dimiliki oleh manusia adalah kebenaran yang subjektif dan dinamis, hanya Tuhanlah Sang Empunya kebenaran yang absolut.
Selain itu pendekatan ini juga menekankan pada bentuk formal simbol-simbol keagamaan yang masing-masing mengklaim diri sebagai ajaran yang paling benar dari lainnya. Nampaklah dari sini karakter yang dimiliki oleh pendekatan teologis-normatif mengacu pada klaim tertentu munculnya sifat loyal terhadap kelompoknya sendiri dan biasanya menggunakan bahasa subjektif. Berdasarkan pada karakter ini maka pendekatan teologis-normatif lebih tekstual dari pada kontekstual, selalu menampakkan sifatnya yang apologis dan deduktif. Lebih tertutup tidak dialektis, monoton, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, dan justru itu semua menjadi indikator utama tidak adanya kerjasama dan kepedulian sosial. Aktualisasi lebih dalam adanya pendekatan ini munculnya aliran dalam Islam, praktik ritualistik mazhab, prototipe pemikiran islam, dan lain-lain.[6]
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau simbol-simbol mengklaim dirinya yang paling benar sedangkan yang lain salah.[7] Aliran teologi tertentu begitu yakin dan fanatik bahwa paham kelompoknyalah yang benar sedang yang lain salah. Tidak heran bila tindak saling menyalahkan, menuduh, mengkafirkan senantiasa terbidik kepada musuh atau lawan yang saling bertentangan paham. Maka terjadi ketegangan serius, anatar satu dengan yang lain tidak terjalin hubungan dialektis, yang ada hanyalah ketertetutupan, eksklusifisme, sehingga terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Amin Abdullah mengatakan “yang menarik perhatian sekaligus perlu pengkajian mendalam adalah mengapa ketika bentuk keberagamaan manusia telah terpecah dan termanifestasikan dalam wadah formal teologi atau agama tertentu, lalu wadah tersebut tersebut menuntut bahwa hanya kebenaran miliknyalah yang paling benar dan paling unggul”.[8] Truth Claim yang menjadi sifat dasar teologi pastinya mengandung implikasi pada pembentukan model berpikir yang partikularistik, eksklusif dan cendurng intoleran. Kaca mata teologi kurang kondusif menjadi teropong guna melihat rumah tangga penganut agama lain secara bersahabat, sejuk dan ramah, justru yang tergambar adalah sebaliknya. Hal yang menjadi sorotan pandangan teologi seperti ini lebih menegaskan pada benang perbedaannya daripada benang persamaanya.
Mengingat semakin kompleks dan majemuknya persoalan dalam lapisan masyarakat sosial, maka tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan teologi. Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial prulalitas agama sekarang.[9] Masalah esensial prulalitas agama sekarang adalah kehidupan sosial. Teologi selalu dependen, ia tidak dapat terlepas dari kelembagaan sosial masyarakat yang mendukung eksistensinya. Bercampur aduknya kepentingan ekonomi, sosial, politik (historisitas institusi sosial masayarakat) dengan teologi, membuat batu loncatan atau tantangan bagi sebuah agama semakin besar dan rumit. Sebab kerumitan inilah akhirnya muncul terobosan baru dari para peneliti agama untuk meninjau pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam budaya tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empirik faktual, serta pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadannya.
Berkenaan dengan hal di atas maka muncul apa yang disebut dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam kontek permasalahan kekinian, yaitu teologi yang bergerak dari dua kutub: teks dan situasi; masa lampau atau masa kini.[10]
Teologi masa kritis ini ditujukan pertama-tama kepada agama itu sendiri sebagai institusi sosial kemudian juga kepada situasi kekinian yang dihadapinya. Teologi kritis menuntut sikap kritis terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini terjadi apabila agama terbuka terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial sebagai objek pembahasannya teruntuk pengembangan teologinya. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi. Lewat ilmu-ilmu sosial itu dapat diperoleh gambaran mengenai situasi yang ada. Melalui analisis ini dapat diketahui berbagai faktor yang menghambat ataupun yang mendukung realisasi keadilan sosial dan emansipasi. Dengan kata lain, ilmu-ilmu sosial membantu untuk  mengkaji akar ketidak adilan dan kemiskinan. Berbicara tentang pendekatan teologi tidak hanya berbicara tentang hubungan vertikal yaitu manusia dengan tuhannya, namun juga berbicara tentang hubungan horizontal yaitu manusia dengan manusia. Demikian, teologi ini bukan hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transfomasi sosial. Maka beberapa kalangan menyebut teologi kepedulian sosial itu teologi transfomatif.[11]
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif (dari umum ke khusus), yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatann teologis sebagaimana disebutkan di atas telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, terus tidak mengakui kebenaran agama lain, dan lain sebagainya. Kekurangan ini dapat di atasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis sebagaimana yang telah diurai diatas (teologi transformatif). Sedangkan kelebihannya, melalui pendekatan teologis-normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatik terhadap agama yang dianutnya.
Pendekatan teologi ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi agamanya yang pokok dan asli dari Tuhan yang belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan ini agama dilihat sebagai kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil menaawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetikawanan, tolong menolong,, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan agama tampil untuk mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.[12]
Menurut Piter Connolly pendekatan teologi mempunyai empat tipe yaitu tipe teologi deskriptif historis, tipe teologi fisterensik, tipe teologi dialogis, dan tipe reologi filosofis[13]. Dari empat tipe ini melahirkan empat pandangan teologis yang berlawanan. Pertama, tradisional pasif yaitu pandangan teologis seseorang yang menutup diri dari perubahan yang terjadi dalam dunianya. Kedua, teologi kreatif terhadap tradisi yaitu pandangan teologi yang berusaha memelihara dan memulihkan tradisi dengan cara dinamis dan kreatif. Ketiga, teologi liberal yaitu pandangan teologi yang lebih menekankan pada reformasi, adaptasi dengan perkembangan modern. Keempat, pandangan teologi yang ingin menginterpretasi ulang tradisi keagamaan secara radikal.[14].

C. Macam-macam Pendekatan Normatif (Religius)

1)        Pendekatan Misionaris Tradisional
Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 yang berkembang subur pada masa penjajahan dunia Barat terhadap dunia Islam. Pada saat itu, sejumlah ahli agama Kristen membonceng para penjajah karena adanya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.[15] Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk mempermudah meng-kristen-kan orang beragama lain (proselytizing) sekaligus menunjukkan kehebatan peradaban barat. Sebagai bekal guna memperlancar tujuannya, mereka memulai mencoba memahami ajaran dan masyarakat islam. Metode yang digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui bahwa studi islam inilah menjadi embrio-embrio studi islam yang berkembang dibarat hingga saat ini. Hingga terdapat sinisme barat dalam memandang Islam.
Dalam prakteknya banyak kesalahan-kesalahan yang terdapat pada ajaran dan masyarakat Islam dan pada waktu yang sama menunjukkan kebenaran ajaran Kristen. Hal ini dilakukan dengan melalui studi perbandingan antara Islam dengan Kristen. Sebagian penulis berpendapat bahwa ajaran Islam banyak mengambil ajaran dari agama-agama lain seperti Yahudi atau Kristen, sehingga terkesan seolah-olah Islam tidak mempunyai kontribusi terhadap budaya dan peradaban dunia. Di antara bukunya yaitu, karya Judith Romney Wegner tentang asal-usul hukum islam sebagai dikenal berasal dari Imam Syafi’ie, G.H.A. Junyboll tentang autensitas hadis, dan John Wansbrough tentang pengaruh Judaic Christian Tradition terhadap Al-Quran merupakan segelintir contoh dalamm hal ini.[16]
2)        Pendekatan Apologetik
Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Pendekatan ini lahir karena adanya perlawanan terhadap kolonialisasi Barat yang disertai misi Kristenisasi. Pendekatan apologetik merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).
Islam digambarkan sebagai agama yang rasional, sejalan dengan ilmu pengetahuan, bersifat progresif, bersifat moderat, dan menawarkan kesejahteraan umat. Kemudian misi yang diluncurkan pada abad ini yaitu dalam rangka membangun identitas baru bagi generasi muda yang bangga terhadap warisan Islam masa lalu. Karena pengaruh kristenisasi pada masa lalu, pemikir Islam terjebak pada kajian-kajian Islam yang jauh dari objektivitas-ilmiah. Karya-karya yang lahir hampir semuanya diselimuti oleh distorsi, selektivitas dan pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi romantisme sejarah dan keberhasilan umat Islam dan kesalahan dalam melakukan analisis perbandingan serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius.[17]
Karya-karya tersebut juga terjebak pada romantisme masa lalu dengan menggambarkan kehebatan ajaran dan peradaban Islam masa lalu, bersifat tendensius, bersifat membela diri, bersifat polemik dalam rangka menghadapi Kristen dan Barat. Tidak jarang juga tujuannya mengarah pada kelemahan Kristen sekaligus kelebihan Islam.
Jika karya-karya yang bersifat Apologetik dimaksudkan untuk membela islam tentu amat baik, namun jika pembelaan itu tidak didasarkan pada realitas yang sesungguhnya justru akan merugikan islm itu sendiri. Muhammad Abduh mengatakan islam itu mulia dan tidak ada yang lebih mulia namun kemuliaan islam itu justru banyak tertutup oleh perilaku umat islam itu sendiri.[18]
3)        Pendekatan Irenic (simpatik)
Sejak perang dunia II telah berkembang gerakan yang berbeda di dunia Barat yang diwakili oleh kelompok agama dan universitas. Gerakan tersebut bertujuan memberikan apresiasi yang besar terhadap keberagamaan Islam dan memelihara sikap baru terhadap Islam. Upaya tersebut dalam rangka menghilangkan sikap negatif kalangan Barat Kristen seperti prasangka, perlawanan, dan merendahkan terhadap tradisi Islam. Pada waktu yang bersamaan terjadi dialog dengan orang Islam dengan harapan membangun jembatan bagi terwujudnya sikap saling simpati antara tradisi agama dan bangsa.
Pendekatan ini dibangun berdasarkan pengalaman sejumlah sastrawan Barat dalam mengkaji Islam dan komunikasi mereka dengan sejumlah tokoh dan masyarakat Islam. Tujuan utamanya yaitu semakin memperkuat apresiasi terhadap Islam sekaligus memperkuat sikap baru yang bersifat simpatik terhadap Islam dan masyarakat Islam. Melalui pendekatan ini sarjana Barat yang mengkaji Islam mencoba membangun dialog dengan umat Islam dengan harapan bisa terbangun jembatan yang mampu menfasilitasi dialog, saling simpati, dan saling percaya antara tradisi-tradisi keagamaan dan juga antar bangsa. Contoh lain pendekatan irenic diterapkan oleh W.C. Smith, terutama dalam karyanya
The Faith of Other Men (1962) dan artikelnya berjudul “Comparative Religion, Whither and Why?”(1959). Hal utama yang ditampilkan dalam tulisan Smith adalah memahami keyakinan orang lain dan bukan untuk mentransformasikan keyakinan itu, atau dengan motif penyebaran agama. Dengan memilih Cragg dan Smith sebagai contoh penggunaan pendekatan irenic dalam studi Islam, Adams tidak bermaksud mengabaikan akademisi lain yang dapat dikategorikan dengan mereka berdua seperti Montgomery Watt, dan Geoffrey Parrinder.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1.      Dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwardamita arti kata teologi pengetahuan tentang Tuhan, dasar-dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama berdasarkan pada kitab-kitab Suci. Sedangkan Norma adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ketentuan tersebut mengikat bagi setiap manusia yang hidup dalam lingkungan berlakunya norma tersebut, dalam arti setiap orang yang hidup dalam lingkungan berlakunya norma tersebut harus menaatinya.
2.      Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol mengklaim dirinya yang paling benar sedangkan yang lain salah. Pendekatan teologi ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi agamanya yang pokok dan asli dari Tuhan yang belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan ini agama dilihat sebagaiu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normative pasti benar, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.
4)        Macam-macam Pendekatan Normatif (Religius) ada tiga: a) Pendekatan Misionaris Tradisional, b) Pendekatan Apologetik, c) Pendekatan Irenic (simpatik)

B. SARAN

Dengan membaca makalah ini kami pemakalah berharap semoga pembaca dapat berpikir tepat dan benar sehingga terhindar dari kesimpulan yang salah dan kabur. Tentu saja dalam makalah ini ada banyak kekurangan sehingga atau bahkan kekeliruan. Maka dari itu, kami pemakalah sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik sebagai upaya pembangunan mental guna penyelesaian.


DAFTAR PUSTAKA


Hasanah, Hasyim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Ombak, 2013.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010.
Kementrian Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kemenag: 2010
Connolly, Piter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Ter Imam Khoiri Yogyakarta: LKIS, 2002.
Ninian Smart dalam Moh. Fadil, Jurnal El Qudwah, Malang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Malang, 2006, vol.1 nomor 1 April 2006, hal.35


[2] Lihat Kementrian Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kemenag: 2010, hal.65
[3] Https://suryawanhindudharma.wordpress.com_dukuments_pengertian-teologi.com.11/11/16
[5] Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Ombak), hlm: 78.
[6] Ibid., hlm: 79.
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo), hlm: 29.
[8] Ibid., hlm: 30.
[9] Ibid.,
[10] Ibid., hlm: 31
[11] Ibid.,
[12] Ibid., hlm; 35.
[13] Piter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Ter Imam Khoiri (Yogyakarta: LKIS), hal.331
[14] Ninian Smart dalam Moh. Fadil, Jurnal El Qudwah, Malang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Malang, 2006, vol.1 nomor 1 April 2006, hal.35
[15] Luluk Fikri Zuhriyah, Metode Pendekatan Dalam Studi Islam (pembacaan atas pemikiran Charles J. Adams) ISLAMICA, Vol.2, No.1, September 2007.
[16] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial Dalam Studi Islam, (Yogyakarta: SUKA Press), hlm: 65.
[17] Luluk Fikri Zuhriyah, Metode Pendekatan Dalam Studi Islam (pembacaan atas pemikiran Charles J. Adams) ISLAMICA, Vol.2, No.1, September 2007.
[18] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial Dalam Studi …………, hlm: 67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar