BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia tidak akan luput akan dosa-dosanya. Mereka
tidak menyadari akan sesuatu hal yang akan menimpa kepada mereka kedepan.
Tetapi mereka menganggap bahwa suatu hal yang besar adalah sebuah masalah kecil
begitu juga sebaliknya yang kita dapat menyelesaikannya dalam hitungan detik
mereka besar-besarkan.
Jangan menganggap bahwa dunia ini akan kekal
sehingga kita manusia dapat hidup sesuka hati tanpa ada yang mengatur. Tapi
kenyataannya diatas langit masih ada langit lagi yang keberadaan manusia akan
kekal didalamnya. Di luar bumi yaitu angkasa raya masih ada planet lain yang
apabila sewaktu-waktu planet-planet tersebut keluar orbital mereka akan
menubruk planet yang ada di area tersebut.
Akibatnya pergerakan planet lain akan terganggu dan
menyebabkan kerusakan. Jika itu terjadi pada bumi dapat kita membayangkan.
Bagaimana jika planet kita bumi menabrak atau tertabrak oleh planet lain yang
secara tidak sengaja melintas di orbital yang salah. Jika itu terjadi apa yang
dapat kita lakukan? Bumi berguncang semua akan bergerak tak sesuai dengan
keinginan kita mungkin itu juga pertanda bahwa dunia akan kiamat.
Haruskah kita mengingat dan kembali kepada Tuhan
yang telah menciptakan alam semesta ini? Tentu saja manusia harus kembali seraya
sujud dan mengingat kepada Tuhan yang telah menciptakan seluruh yang ada di
langit dan juga di bumi. Tuhan merupakan sebuah konsep yang tidak akan
tergantikan bagi manusia di dunia. Sebuah ungkapan yang mungkin tidak asing
lagi bagi kita. Tetapi walaupun demikian Tuhan merupakan satu konsep yang boleh
dijumpai secara universal di setiap bangsa.
Dalam Islam hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yaitu
Allah SWT yang dalam hal ini manusia harus tunduk dan patuh kepada segala yang
diperintahkan-Nya baik dalam bentuk perintah yang baik maupun perintah yang
buruk (larangan). Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai
suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama untuk semua ciptaan yang
memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya.
Dalam perspektif Islam dikatakan bahwa sebuah agama
dapat berkembang dan maju salah satu faktornya yaitu adanya theology. Theology
berasal dari Bahasa Yunani Theos yang berarti “Tuhan” dan Logos
yang berarti “ilmu” (science, study, discourse). Jadi “Theology” berarti Ilmu
tentang Tuhan atau Ilmu Ketuhanan. Dalam ensycklopedia Everyman’s, disebutkan
tentang theology yang berarti Science of religion, dealing therefore with
God, and man his relation to God (Pengetahuan tentang agama, yang karenanya
membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan).
Dalam Kamus New English Dictionary yang disusun
oleh Collins menyebutkan bahwa theology adalah the science which treats of the
facts and phenomena of religion, and teha relations between God and men (Ilmu
yang membahas fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara
Tuhan dan manusia).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
sejarah singkat kehidupan Muhammad Abduh?
2. Apa
sajakah pemikiran Muhammad Abduh?
C. Tujuan/ Manfaat Makalah
1. Menjelaskan
sejarah singkat kehidupan Muhammad Abduh
2. Menyebutkan
pendapat atau teologi Muhammad Abduh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh pembaharu
dalam Islam. Beliau dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr,
suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di propinsi Gharbiyyah.
Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki,
sedangkan Ibunya Junainah binti Utsman bin Al-Kabir mempunyai silsilah keluarga
besar keturunan Umar bin Khattab.
Kedua orangtua Muhammad Abduh hidup dalam masa rezim
Muhammad Ali Pasya, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Keluarga beliau adalah keluarga yang sangat kuat dalam menjalankan
agama, sampai usia 10 tahun Abduh dididik dalam lingkungan keluarga sendiri
terutama mengenai membaca dan menulis. Setelah itu sang ayah mengirimkannya
kepada seorang hafiz untuk belajar
Quran dan dalam tempo dua tahun beliau telah menghafalkannya. Studinya
ini kemudian dimantabkan di Masjid Ahmadi kta Tanta yang dikenal mempunyai
spesialisasi dalam kajian Quran. Disinilah beliau mulai belajar ilmu tata Bahasa
dan Fiqh.
Mulai tahun 1866, Abduh memasuki Universitas
Al-Azhar di Kairo. Dengan masuknya beliau di al-Azhar, beliau tidak merasa
senang bahkan merasa kecewa sama seperti perasaannya saat pertama kali masuk ke
Tanta untuk belajar agama. Murid tidak lebih hanya disuruh untuk menghafal dan
menerima materi-materi yang diberikan gurunya. Akhirnya beliau kembali meminta
nasihat kepada Syekh Darwisy, beliau disarankan untuk mempelajari
displin-disiplin yang lain atau pelajaran yang lain seperti logika, matematika,
dan filsafat. Lewat perantara orang lain beliau dipertemukan dengan seorang
ulama bernama Hasan at-Thawil.
Pengaruh intelektual paling besar paada Abduh
terjadi setelah ia bertemu Sayyid Jamaludin al-Afghani. Jamaludin
datang ke Mesir pada tahun 1871, dan pada saat itu beliau sangat berantusias
mengikuti pengajian dan ceramah-ceramah yang diberikan oleh Jamaludin. Secara
pribadi beliau lebih banyak belajar dari al-Afghani terutama dibidang filsafat,
logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Pada tahun 1877 ia
berhasil lulus dari al-Azhar dengan mendapatkan gelar kesarjanan alim,
suatu prestasi yang memberikannya hak di Universitas ini. Pengalaman yang tak
pernah beliau lupakan selama kuliah di al-Azhar adalah saat melaksanakan ujian
akhir yang membuat beliau hamper tak lulus.
Alasan beliau hampir tak diluluskan dalam ujian
akhir adalah pada saat pemikiran beliau selama ini banyak dinilai keluar dari mainstream umum yang berkembang di
al-Azhar. Karena beliau sangat berpegang teguh terhadap pendapatnya dan dapat
menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan walaupun ada yang tidak setuju untuk
tetap meluluskannya. Akhirnya proses kelulusannya melibatkan Rekor yang waktu
itu dipegang oleh Syekh Muhammad al-Abbasi. Keputusan rekor akhirnya meluluskannya
dan dengan diberi peringkat Darajah al-Tsani
(amat baik).
Setelah perjalanan hidup yang tergolong sangat baik
dan sangat ketat, akhirnya beliau mengajar di al-Azhar dengan mengampu mata
kuliah ilmu kalam dan logika. Beliau juga mengajar dan memberikan pelajaran
yang terbuka untuk umum, kitab yang digunakan beliau adalah Muqaddimah karya Ibn Khaldun dan kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibn Maskawih.
Ketika beliau mulai terkenal oleh masyarakat luas,
pemerintah memanfaatkannya untuk menjadi Dosen tetap di Universitas Dar al-Ulum
dan Perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879. Disini beliau mengajarkan ilmu
kalam, sejarah, ilmu politik dan kesusteraan Arab. Karena kali ini berbau
politik, maka Tufiq Pasha memberhentikan Abduh dari mengajar di dua perguruan tinggi
pemerintah tersebut serta dipulangkan ke desa tempat kelahirannya.
Pada tahun 1880 angin politik berpihak padanya
ketika Perdana Menteri Riyadh Pasya memanggil beliau kembali untuk membantu
tugas-tugas pemerintah, Al-Waqai
al-Mishriyyah, dan tidak lama kemudian beliau dipercaya untuk menjadi Editor in Chef (ketua editor). Akhirnya
setelah sakit sekian lamanya, Abduh meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905.
Jenazahnya dikebumikan pada pemakaman negara di Cairo.
B. Segi-segi Pemikiran Syekh Muhammad Abduh
Segi
Politik dan Ketanah-airan
a) Arti
Tanah Air
Pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Abduh
dalam bidang politik nampaknya mempunyai pengaruh yang besar dalam pentas politik
Mesir. Hal ini dapat dilihat ketika beliau menapaki tangga keanggotaan dewan
legislatif Mesir, dimana pemerintah tidak lagi mengacuhkan masukan-masukan
Majelis Syura. Menurut beliau bahwa kekuasaan terhadap penyelenggara negara
harus dibatasi. Pemerintah harus siap terhadap setiap koreksi yang dikemukakan
oleh rakyat atas segala kekhilafannya.
Syekh Muhammad Abduh menggariskan tanah
air dengan adanya hubungan yang erat dari seseorang warga negara dengan tanah
airnya. Ada tiga hal yang mengharuskan seseorang cinta, gairat dan
memperhatikan tanah airnya, yaitu:
a) Sebagai
tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal
keluarga dan sanak saudara
b) Sebagai
tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang keduanya menjadi poros
(dasar) kehidupan politik
c) Tempat
mempertalikan diri di mana seseorang akan merasa bangga atau merasa terhina
karenanya
b)
Demokrasi dan Pemerintahan
Sejarah Islam menjadi bukti, betapa kuat
demokrasi yang dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa pertama Islam, sebagaimana
yang dikatakan oleh Khalifah Umar r.a dan kaumnya, ketika ia berkata dihadapan
mereka “wahai kaum muslimin, barang siapa melihat suatu penyelewengan dari
diriku, hendaklah is meluruskannya”.
Maka berdirilah seorang dari mereka seraya
berkata, “Demi Tuhan, kalau kami dapati pada diri Tuan suatu penyelewengan,
maka akan kami luruskan dengan pedang kami”. Berkatalah Umar “Alhamdulillah,
Tuhan telah menjadikan di antara kaum muslimin orang yang sanggup meluruskan penyelewengan
Umar dengan pedangnya”.
Menurut Syekh Muhammad Abduh, jika
prinsip demokrasi menjadi suatu kewajiban bagi rakyat dan penguasa
bersama-sama, maka kewajiban pemerintah tehadap rakyat ialah memberi kesempatan
seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar, agar
dapat mewujudkan kebaikan dirinya dan masyarakat.
c) Pertalian
Undang-Undang Negara dengan Keadilan Negeri
Menurut Syekh Muhammad Abduh, fungsi
undang-undang hanya memelihara keadaan yang sudah ada, bukan untuk mengadakan
perubahan. Perubahan adat dan akhlak sesuatu umat dan penjurusan kepada sesuatu
jurusan hanya bisa dicapai dengan pendidikan, bukan dengan undang-undang.
Undang-undang yang menentukan sesuatu hukuman atas sesuatu kejahatan atau
pelanggaran tidak akan bisa mendidik umat memperbaikinya, karena semua
undang-undang di dunia ini dibuat untuk orang-orang yang menyeleweng dan salah,
sedang undang-undang yang membawa perbaikan ialah undang-undang pendidikan
agama pada tiap-tiap umat.
Segi Kemasyarakatan
a) Jiwa
Bersama
Menurut Syekh Muhammad Abduh, jiwa bersama dalam suatu umat harus diperkuat,
sebaliknya jiwa individualis harus dikikis habis. Jalannya tidak lain hanyalah
pendidikan yang benar. Kemiskinan suatu negeri disebabkan karena tidak ada jiwa
pendirian agama dan pendidikan mental, yang apabila tidak bisa dikatakan
menyebabkan seseorang merasa bahwa kepentingan negerinya lebih besar daripada
kepentingan dirinya atau bahaya yang menimpa negaranya lebih berbahaya daripada
yang menimpa dirinya serta memperkuat perasaan seseorang terhadap kepentingan
dan bahaya dirinya.
Sebab yang sebenarnya dari kelemahan
umat dan masyarakat Islam, menurut Syekh Muhammad Abduh, tidak lain hanya
kemiskinan (kelemahan) jiwa manusia, bimbingan yang salah terhadap akal pikiran
bukan disebabkan karena tanah Mesir atau langitnya, bukan pula karena tabiat
alam (geografi) negeri-negeri Islam lainnya. Yang menjadi sebab kemiskinan
(kelemahan) jiwa dan tuntutan yang salah terhadap akal pikiran ialah merajalela
rasa keakuan (egoisme) dan rusaknya arti bersama pada jiwa seseorang.
b)
Pendidikan
Obat
yang paling manjur adalah ajaran-ajaran agama pada pendidikan dasar. Akan
tetapi tidak hanya pendidikan agama saja yang diajarkan hendaknya mata
pelajaran yang lain dan ilmu teknik yang berguna bagi si murid dalam hidupnya
dan menyebabkan dia tidak kalah dengan orang barat dalam kemampuan menguasai
hidup.
Kemudian Syekh Muhammad Abduh
mengarahkan kepada orang-orang kaya terutama untuk mewujudkan pendidikan yang
diinginkan itu. Menurut beliau, mereka harus memberikan bagian dalam
pendidikan, sesuai dengan kewajiban (keharusan) atau kebutuhan sosial yang ada
pada mereka.
“Kalau kita teliti keadaan kaum
muslimin, untuk mencari sebab-sebab kemerosotannya, maka hanya satu sebab yang
kita dapati, yaitu ketidakberesan dalam pengajaran agama. Apakah karena ditinggalkannya
sama sekali, ataukah karena cara pemahaman agama tidak melalui jalan yang
sebenarnya, seperti yang dialami di bagian negeri-negeri lainnya” ujar beliau.
c) Kelemahan-kelemahan
Masyarakat Mesir
1. Pembicaraan-pembicaraan
masyarakat Islam Mesir menjadi tanda adanya salah pengertian terhadap hidup dan
tidak ada perhatian terhadap akhlak.
2. Perkawinan
dipandang oleh Syekh Muhammad Abduh sebagai suatu keharusan sosial. Selain itu
poligami dianggapnya sebagai bencana masyarakat, sebab baik orang kaya maupun
yang miskin menganggap sebagai alat pemuas hawa nafsu dengan melupakan tujuan
poligami yang sebenarnya. Hal ini dilarang oleh syara’ dan tidak dapat diterima
pula oleh akal. Karena itu cukuplah kawin dengan seorang istri (monogami),
apabila tidak bisa berlaku adil-sebagaimana yang menjadi kenyataan- sesuai
dengan firman Tuhan: “kalau kamu khawatir tidak akan dapat adil, maka kawinilah
satu istri”(An-Nisa: 3). Dalam ayat itu juga tersebut: “Kawinilah istri-istri
yang baik dua, tiga, empat”.(An-Nisa: 3), maka dibatasi berlakunya oleh ayat
tersebut diatas.
3. Ia
juga menyebutkan bid’ah dan sampai di mana bid’ah ini menunjukan penyelewengan
dalam aqidah. Di antaranya adalah ziarah ke kubur-kubur wali dan membikin rebut
orang shalat. Pada waktu ia mencela bid’ah ini belum lagi menjadi mufti atau
hakim atau guru, tetapi masih menjadi redaktur harian “al-Waqai’ul-Misriah”.
4. Ia
mencela keras main suap (risywah) yang dipandangnya sebagai tanda kemerosotan
akhlak dan kehilangan rasa akan kewajiban. Baik yang menyuap maupun yang disuap
sama-sama melakukan kejahatan akhlak bahkan si penyuap lebih besar lagi
merosotnya.
5. Acuh
tak acuh terhadap kepentingan umum juga menjadi noda masyarakat Mesir dan
masyarakat Islam pada umumnya. Hal ini disebabkan karena putusnya hubungan jiwa
satu sama lain. Karena itu seseorang tidak mau kerjasama dengan orang-orang
lain untuk mewujudkan sesuatu pekerjaan yang dirasakan manfaatnya bersama-sama,
meskipun ia mengetahui bahwa ia akan menderita kerugian juga, kalau pekerjaan
itu ditinggalkan.
Segi
Aqidah
1. Aqidah
Jabariah
Syekh
Muhammad Abduh memandang bahwa pengabdian diri secara mutlak terhadap
mazhab-mazhab dan kitab-kitab yang sekarang pada masa akhir Islam tidak saja
bertalian dengan lemah kepribadian-keilmuan pada masanya dan tidak sejalan dengan
kepribadian Islam yang pertama dalam langkah-langkahnya yang positif dan baik
terhadap Al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga berhubungan erat dengan aqidah atau
paham Jabariah.
Akibat
aqidah Jabariah bukan saja seseorang merasa dirinya lemah di depan Tuhan,
tetapi juga lemah di depan orang lain, karena aqidah Jabar pada hakikatnya
hanya bisa hidup atas penghapusan kepribadian dan wujud diri sendiri. Meskipun
seharusnya penghapusan ini hanya terjadi dalam hubungan dengan Tuhan saja,
tetapi karena kelemahan pribadinya ia menganggap bahwa penghapusan tersebut
juga berlaku dalam hubungannya dengan sesama makhluk. Seorang pemikut Jabar
adalah orang orang mukmin yang negatif dalam hidupnya. Salah satu ciri
perbuatannya ialah selalu bersandar kepada orang lain, meskipun orang lain ini
sebenarnya lebih lemah daripadanya. Bagaimapun juga, paham Jabar sesuai dengan
taqlid, yang kedua-duanya menjadi tanda kelemahan dalam hidup.
Kalau manusia mempunyai kepercayaan
(aqidah), maka aqidah Jabariah dan Murjiah-lah yang mereka pegangi, seperti:
“Manusia tidak mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatannya. Karena itu tidak
salah kalau ia meninggalkan kewajiban atau memperkuat kesalahan. Atau rahmat
Tuhan meliputi segala sesuatu dan semua dosa pasti diampuni, karena itu manusia
bisa berbuat sekehendaknya.”
Syekh
Muhammad Abduh tidak puas kalau kepercayaan seseorang mukmin adalah kepercayaan
Jabar, sebab kepercayaan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan kelemahan
manusia dan menyebabkan ia kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya.
Karena itu beliau menentang paham Jabar dan menyerukan paham Ikhtiar
(indeterminism-free will), agar seseorang muslim menjadi orang yang kreatif.
Dalam
soal Ikhtiar, ia menunjuk ayat-ayat yang berisi penyandaran dan amal kepada
mausia dan ayat-ayat lain yang berhubungan balasan di akhirat dengan perbuatan
dunia, seperti: “Sesungguhnya tidak ada pada manusia kecuali apa yang
dikerjakan dan pekerjaannya itu akan terlihat”. (An-Najm: 39-40).
Alasan
lain Syekh Muhammad Abduh dari filsafat adalah tujuan hidup manusia dalam
Islam, yaitu bahwa manusia yang bebas merupakan batu (anggota) yang positif
dalam pembinaan masyarakat. Karena itu menjadi landasan yang kuat, dan tidak
boleh bermalas-malasan, tidak kendur dalam berbuat, bahkan sebaliknya harus bersikap
produktif. Dalam jawaban polemik yang dikemukakan oleh Hanotau, ahli ketimuran
Prancis, Syekh Muhammad Abduh mengatakan sebagai berikut:
“Orang
Eropa menganggap tidak ada perbedaan antara kepercayaan tentang qadla dan qadar
dengan kepercayaan terhadap Jabar, yang mengatakan bahwa manusia hanya dipaksa
semata-mata sebagai alat dalam semua perbuatannya. Mereka mengira, bahwa dengan
kepercayaan qadla dan qadar, kaum muslimin menganggap dirinya seperti bulu yang
digantung di udara, yang hanya diombang-ambingkan oleh angin kemanapun arahnya.
Pendapat-pendapat ahli ketimuran tersebut diikuti oleh orang-orang yang lemah
otaknya di dunia timur.”
Syekh
Muhammad Abduh dengan tegas mengatakan bahwa pendapat tersebut salah. Tidak ada
seorang Islampun yang berpaham Jabar dengan pengertian tersebut, tetapi ia
percaya bahwa dirinya mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatan-perbuatannya,
yaitu yang disebut “kasb” sebagai tempat menggantungkan pahala dan siksa.
Memang dahulu pernah ada golongan Safstah palsu (sophisten) dan sudah lenyap
pada akhir abad ke-4 hijrah.
2. Hubungan
Akal dengan wahyu
Dalam
menjelaskan hubungan akal dengan wahyu atau dengan perkataan lain antara
golongan rasionalis dengan golongan tekstualis dalam Islam, pendapat syekh
Muhammad Abduh sama dengan pendapat Ibnu Rusyd yang hidup pada abad ke-6 H dan
dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang hidup pada abad ke-8 H, yaitu bahwa wahyu
mesti sesuai dengan akal. Ia mengatakan sebagai berikut:
“Al
Qur’an memerintahkan kita untuk berfikir dan menggunakan akal pikiran tentang
gejala-gejala alam yang ada di depan mata kita dan rahasia-rahasia alam yang
mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukan Tuhan
kepada kita. Al Qur’an melarang kita bertaqlid, sewaktu menceritakan tentang
umat-umat yang terdahulu yang dicela karena mereka merasa cukup mengikuti nenek
moyangnya. Taqlid adalah sesuatu kesesatan yang dapat dimengerti kalau terdapat
pada hewan, akan tetapi tidak pantassama sekali untuk manusia”
Katanya
pula: “Kami yakin, bahwa agama Islam adalah agama kesatuan (tauhid) dalam
segi-segi kepercayaan, bukan agama perpecahan dalam persoalan pokok (prinsip).
Akal pikiran menjadi kawan Islam yang terkuat, dan dalil naqli menjadi tiangnya
yang utama. Selain itu hanyalah kemauan syetan-syetan atau keinginan
orang-orang yang mau berkuasa”.
Jadi
wahyu dalam risalah Tuhan menjadi salah satu tanda kekuasaan tuhan, dan akal
juga menjadi salah satu tanda kekuasaan-Nya dalam wujud ini. Kedua tanda
kekuasaan Tuhan mesti sesuai satu sama lain, dan tidak akan berlawanan karena:
a.
Kedua-duanya menjadi tanda kekuasaan zat
yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan ada perlawanan antara
tanda-tanda tersebut, karena perlawanan itu berarti suatu kelemahan
b.
Wahyu menjadi sumber petunjuk dan akal
manusia juga menjadi sumber petunjuk. Kedua-duanya bertujuan untuk menentukan
jalan yang lurus untuk kehidupan manusia, dan menentukan tujuan terakhir dari
kehidupan ini. Dua hal yang demikian keadaannya mesti tidak berbeda pada garis
besarnya dalam menentukan jalan dan tujuan hidup manusia
Sebelum Syekh Muhammad
Abduh dan Ibnu Rusyd, dengan nada yang sama, menulis bukunya yang berjudul “fashlul
maqal fima abinal hikmati was syari’ati minal ittisal” (pasal
pembicarakan tengtang perjanjian anatara hikamah (filsafat dengan syara’). Ibnu
Taimiyah pun menulis bukunya yang berjudul “muwafaqatu shahihi al-Manqul li Sharihil
Ma’qil” (persesuaian dalil naqli yang sahih dengan dalil akal yang
jelas (benar).
Syekh Muhammad Abduh
agak berbeda dengan dalam menguraikan pertemuan wahyu dengan akal. Ia hendak
menyatakan bahwa fitrah kejadian manusia yang berhubungan dengan akal, tidak
bertentangan dengan tanda lain dari kekuasaan Tuhan dan bekas-bekasnya pada
alam semesta, terutama dengan risalah wahyu, seperti yang termuat dalam Al
Qur’an dan dalam bentuknya yang asli.
Segi Pendidikan dan Tuntutan Umum
1. Fanatik Mazhab
Syekh Muhammad Abduh menjadi
masyarakat Islam sudah terpecah belah menjadi golongan dan aliran-aliran,
sehingga tidak lagi merupakan sutu kesatuan umat yang mempunyai unsur-unsur
kejayaannya. Hal ini disebabkan karena kuatnya pemujaan mutlak terhadap
mazhab-mazhab yang telah ada. Sebenarnya bermacam-macam mazhab-mazhab dan aliran-aliran,
baik dalam bidang hukum atau akidah, yang tidak membahayakan umat. Tetapi yang
membahayakan adalah kuatnya kekuasaan mazhab atau aliran itu pada diri
pemeluk-pemeluknya, sehingga tidak berani mengkritik atau mengadakan evaluasi
terhadapnya.
Karena itu Syekh
Muhammad Abduh mengadakan evaluasi terhadap aliran-aliran tersebut, dengan
tidak memberikan penilaian yang mutlak atas sesuatu aliran tertentu. Aliran
tersebut semuanya dipandangnya sebagai aliran pengulas (penjelas-syarih) dasar-dasar
Islam dan ajaran-ajarannya, yang bisa salah atau benar, sesuai dengan sifat
pengulas tersebut, sebagaimana manusia biasa. Oleh karena itu, suatu mazhab
atau aliran terutama pengikut-pengikutnya tidak berhak sama sekali untuk
mengatakan bahwa hanya dirinya semata-mata yang benar atau yang mencerminkan
islam yang sebenarnya.
Ulama-ulama pada
masanya, terutama ulama al-Azhar menganggap bahwa ilmu tauhid dengan segala
perdebatan yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu tersebut antara aliran-aliran
ilmu kalam waktu membentangkan dalil-dalilnya masing-masing. Merupakan jalan
yang baik untuk menanamkan aqidah yang benar terhadap Tuhan di antara kaum
muslimin. Karena itu kedudukan tauhid, diantara ilmu-ilmu keislaman yang
menjadi bahan tuntunan islam, datang tingkatannya sesudah Al Qur’an dan
ilmu-ilmu Al Qur’an. Artinya langsung sesudah suatu pembahasan yang berhubungan
dengan sumber pertama Islam.
Syekh Muhammad Abduh
berbeda pendapat dengan ulama-ulama di atas yang memberikan penilaian lain
terhadap ilmu tauhid dan penilaiannya ini sesuatu yang pernah dikatakan oleh
Imam Ghazali dan Imam Juwaini, yaitu bahwa ilmu tauhid hanya bisa dipakai untuk
melatih akal-pikiran, tetapi tidak bisa menjadi alat untuk menanamkan aqidah
Islam ataupun mengkokohkannya sama sekali. Jalan yang terbaik adalah metode Al
Qur’an sendiri dalam menguraikan dakwah Islamiah dan mengajak orang banyak
untuk memenuhi suruhan itu, yaitu metode “iqna’i” (pemuasan hati), suatu metode
yang memperhatikan fitrah manusia yang universal.
Pendapat Syekh Muhammad
Abduh tentang aliran-aliran Teologi Islam dikemukakan dalam ulasannya terhadap
kitab “syarah risalah al-adhudiah”, karangan Jalaluddin ad-Dawwani. Al-Iji,
pengarang matan (inti) risalah tersebut, waktu menafsirkan hadis Nabi SAW
tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan, dimana golongan yang selamat hanya
satu, maka dikatakannya bahwa yang dimaksudkan oleh hadis adalah aliran Asy’ariyah.
Atas tafsiran ini Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa hadis mengatakan bahwa
hadis Nabi SAW tersebut berisi tiga hal, yaitu:
1)
Ada perpecahan di kalangan umat,
sehingga menjadi bermacam-macam golongan
2)
Diantara golongan itu selamat hanya satu
3)
Yang selamat, seperti yang dijelaskan
oleh Nabi sendiri, ialah yang mengikuti apa yang dijalankan oleh beliau dan
sahabat-sahabatnya (mengikuti jejak nabi dan para sahabat)
Dengan pendapat
tersebut beliau telah menggoyahkan pemujaan kefanatikan terhadap mazhab dan
keagungan mazhab atau aliran yang sebenarnya hanya dibuat-buat oleh pengikut-pengikutnya,
serta kekuasaan mutlak mazhab atau aliran tersebut atas jiwa mereka. Dengan
tindakan itu, beliau bermaksud agar umat islam kembali kepada sumber islam yang
pertama yaitu Al Qur’an, kemudian hadis yang sahih, sebagaimana yang terjadi
pada awal kejayaan Islam.
2. Ijtihad dan Taqlid
Dua hal yang
mendorong Syekh Muhammad Abduh untuk menyerukan Ijtihad, yaitu Tabiat hidup dan
tuntutan kebutuhan manusia. Walaupun Syekh Muhammad Abduh membuka pintu ijtihad, tetapi dia mencela Taklid. Karena
taklid akal manusia didudukkan dalam suatu tempat tertentu yang tidak boleh
dilampauinya. Hal ini bertentangan dengan fungsi akal, dengan tabiat hidup dan
dengan sifat prinsip islam itu sendiri.
Syekh Muhammad Abduh bukan saja mencela
taklid sebagai prinsip, juga karena taklid telah mencapai bentuk yang
sedemikian rupa, yaitu ketundukan yang bulat terhadap suatu kekuasaan madzab
yang telah menggariskan arah tertentu yang menyimpang jalan lurus.
3. Kekuasaan Kitab tertentu
Menurut
beliau pengaruh kitab-kitab yang dikarang pada masa Mutakhir, yaitu masa
kemunduran dan kelemahan, sama dengan kefanatikan terhadap madzab yang telah
dibicarakan, yaitu pengaruh negative dalam memberikan bimbingan serta
menghambat jalan alam pikiran sehingga tidak dapat menghadapi peristiwa hidup
dan perkembanganya.
Beliau berkata, “Mereka membaca kitab
Ushul Fiqih. Tetapi seorang pun tidak terlintas dalam hatinya untuk
mengembalikan soal-soal furuk dalam kitab-kitab fiqih kepada landasanya atau
pun mencarikan dalilnya. Bahkan mereka tidak malu-malu lagi berkata ‘Kami ini bertaklid,
tidak perlu mencari dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah’ mereka merasa terikat erat
langsung dengan kitab karangan Ulama sebelumya, meskipun saling berlawanan dan
bertentangan isinya yang telah mencerai beraikan kesatuan umat Islam. Para
fuqaha sudah merasa cukup untuk mengatakan ‘Toh mereka semua dari Rasul dan
menerima ilmu’ ”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Muhammad
Abduh adalah salah satu tokoh pembaharu dalam Islam. Beliau dilahirkan pada
tahun 1849 M (1265 H) di mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk
Mesir Hilir di propinsi Gharbiyyah. Sejak kecil beliau telah
memiliki banyak kelebihan dan orang tuanya mendidiknya dengan sangat keras
sehingga membuat akhlak beliau terjaga. Tetapi pandangan antara ayahnya dan
beliau sangat bertentangan yang membuat beliau sering kabur ketika memasuki
masa perkuliahan.
Adapun teologi yang beliau keluarkan
meliputi Segi Politik dan Ketanah-airan, Segi Kemasyarakatan, Segi Aqidah, Segi
Pendidikan dan Tuntutan Umum. Masih
banyak lagi teologi yang diungkapkan oleh beliau, tetapi kami hanya dapat
membahas sedikit tentang teologi yang beliau utarakan dan yang sekiranya tersebar
di masyarakat.
by: fitriya hanun mufida
agung setiawan
rina zahrotun f.
DAFTAR PUSTAKA
Sahal, Muktafi, dan Ahmad Amir Aziz, TEOLOGI ISLAM MODERN, Surabaya:
Gitamedia Press, 1996.
Hanafi, A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM, Jakarta: PT. AL HUSNA ZIKRA, 2001.
Aziz, Ahmad Amir, PEMBAHARUAN TEOLOGI, Yogyakarta: SUKSES Offset, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar