Senin, 19 Desember 2016

teologi muhammad abduh



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Manusia tidak akan luput akan dosa-dosanya. Mereka tidak menyadari akan sesuatu hal yang akan menimpa kepada mereka kedepan. Tetapi mereka menganggap bahwa suatu hal yang besar adalah sebuah masalah kecil begitu juga sebaliknya yang kita dapat menyelesaikannya dalam hitungan detik mereka besar-besarkan.
Jangan menganggap bahwa dunia ini akan kekal sehingga kita manusia dapat hidup sesuka hati tanpa ada yang mengatur. Tapi kenyataannya diatas langit masih ada langit lagi yang keberadaan manusia akan kekal didalamnya. Di luar bumi yaitu angkasa raya masih ada planet lain yang apabila sewaktu-waktu planet-planet tersebut keluar orbital mereka akan menubruk planet yang ada di area tersebut.
Akibatnya pergerakan planet lain akan terganggu dan menyebabkan kerusakan. Jika itu terjadi pada bumi dapat kita membayangkan. Bagaimana jika planet kita bumi menabrak atau tertabrak oleh planet lain yang secara tidak sengaja melintas di orbital yang salah. Jika itu terjadi apa yang dapat kita lakukan? Bumi berguncang semua akan bergerak tak sesuai dengan keinginan kita mungkin itu juga pertanda bahwa dunia akan kiamat.
Haruskah kita mengingat dan kembali kepada Tuhan yang telah menciptakan alam semesta ini? Tentu saja manusia harus kembali seraya sujud dan mengingat kepada Tuhan yang telah menciptakan seluruh yang ada di langit dan juga di bumi. Tuhan merupakan sebuah konsep yang tidak akan tergantikan bagi manusia di dunia. Sebuah ungkapan yang mungkin tidak asing lagi bagi kita. Tetapi walaupun demikian Tuhan merupakan satu konsep yang boleh dijumpai secara universal di setiap bangsa.
Dalam Islam hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT yang dalam hal ini manusia harus tunduk dan patuh kepada segala yang diperintahkan-Nya baik dalam bentuk perintah yang baik maupun perintah yang buruk (larangan). Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya.
Dalam perspektif Islam dikatakan bahwa sebuah agama dapat berkembang dan maju salah satu faktornya yaitu adanya theology. Theology berasal dari Bahasa Yunani Theos yang berarti “Tuhan” dan Logos yang berarti “ilmu” (science, study, discourse). Jadi “Theology” berarti Ilmu tentang Tuhan atau Ilmu Ketuhanan. Dalam ensycklopedia Everyman’s, disebutkan tentang theology yang berarti Science of religion, dealing therefore with God, and man his relation to God (Pengetahuan tentang agama, yang karenanya membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan).
Dalam Kamus New English Dictionary yang disusun oleh Collins menyebutkan bahwa theology adalah the science which treats of the facts and phenomena of religion, and teha relations between God and men (Ilmu yang membahas fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia).

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah sejarah singkat kehidupan Muhammad Abduh?
2.      Apa sajakah pemikiran Muhammad Abduh?

C. Tujuan/ Manfaat Makalah

1.      Menjelaskan sejarah singkat kehidupan Muhammad Abduh
2.      Menyebutkan pendapat atau teologi Muhammad Abduh






BAB II

PEMBAHASAN


A.    Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh pembaharu dalam Islam. Beliau dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki, sedangkan Ibunya Junainah binti Utsman bin Al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khattab.
Kedua orangtua Muhammad Abduh hidup dalam masa rezim Muhammad Ali Pasya, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keluarga beliau adalah keluarga yang sangat kuat dalam menjalankan agama, sampai usia 10 tahun Abduh dididik dalam lingkungan keluarga sendiri terutama mengenai membaca dan menulis. Setelah itu sang ayah mengirimkannya kepada seorang hafiz untuk belajar Quran dan dalam tempo dua tahun beliau telah menghafalkannya. Studinya ini kemudian dimantabkan di Masjid Ahmadi kta Tanta yang dikenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Quran. Disinilah beliau mulai belajar ilmu tata Bahasa dan Fiqh.
Mulai tahun 1866, Abduh memasuki Universitas Al-Azhar di Kairo. Dengan masuknya beliau di al-Azhar, beliau tidak merasa senang bahkan merasa kecewa sama seperti perasaannya saat pertama kali masuk ke Tanta untuk belajar agama. Murid tidak lebih hanya disuruh untuk menghafal dan menerima materi-materi yang diberikan gurunya. Akhirnya beliau kembali meminta nasihat kepada Syekh Darwisy, beliau disarankan untuk mempelajari displin-disiplin yang lain atau pelajaran yang lain seperti logika, matematika, dan filsafat. Lewat perantara orang lain beliau dipertemukan dengan seorang ulama bernama Hasan at-Thawil.
Pengaruh intelektual paling besar paada Abduh terjadi setelah ia bertemu Sayyid Jamaludin al-Afghani. Jamaludin datang ke Mesir pada tahun 1871, dan pada saat itu beliau sangat berantusias mengikuti pengajian dan ceramah-ceramah yang diberikan oleh Jamaludin. Secara pribadi beliau lebih banyak belajar dari al-Afghani terutama dibidang filsafat, logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Pada tahun 1877 ia berhasil lulus dari al-Azhar dengan mendapatkan gelar kesarjanan alim, suatu prestasi yang memberikannya hak di Universitas ini. Pengalaman yang tak pernah beliau lupakan selama kuliah di al-Azhar adalah saat melaksanakan ujian akhir yang membuat beliau hamper tak lulus.
Alasan beliau hampir tak diluluskan dalam ujian akhir adalah pada saat pemikiran beliau selama ini banyak dinilai keluar dari mainstream umum yang berkembang di al-Azhar. Karena beliau sangat berpegang teguh terhadap pendapatnya dan dapat menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan walaupun ada yang tidak setuju untuk tetap meluluskannya. Akhirnya proses kelulusannya melibatkan Rekor yang waktu itu dipegang oleh Syekh Muhammad al-Abbasi. Keputusan rekor akhirnya meluluskannya dan dengan diberi peringkat Darajah al-Tsani (amat baik).
Setelah perjalanan hidup yang tergolong sangat baik dan sangat ketat, akhirnya beliau mengajar di al-Azhar dengan mengampu mata kuliah ilmu kalam dan logika. Beliau juga mengajar dan memberikan pelajaran yang terbuka untuk umum, kitab yang digunakan beliau adalah Muqaddimah karya Ibn Khaldun dan kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibn Maskawih.
Ketika beliau mulai terkenal oleh masyarakat luas, pemerintah memanfaatkannya untuk menjadi Dosen tetap di Universitas Dar al-Ulum dan Perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879. Disini beliau mengajarkan ilmu kalam, sejarah, ilmu politik dan kesusteraan Arab. Karena kali ini berbau politik, maka Tufiq Pasha memberhentikan Abduh dari mengajar di dua perguruan tinggi pemerintah tersebut serta dipulangkan ke desa tempat kelahirannya.
Pada tahun 1880 angin politik berpihak padanya ketika Perdana Menteri Riyadh Pasya memanggil beliau kembali untuk membantu tugas-tugas pemerintah, Al-Waqai al-Mishriyyah, dan tidak lama kemudian beliau dipercaya untuk menjadi Editor in Chef (ketua editor). Akhirnya setelah sakit sekian lamanya, Abduh meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905. Jenazahnya dikebumikan pada pemakaman negara di Cairo.





B.     Segi-segi Pemikiran Syekh Muhammad Abduh


Segi Politik dan Ketanah-airan
a)      Arti Tanah Air
Pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Abduh dalam bidang politik nampaknya mempunyai pengaruh yang besar dalam pentas politik Mesir. Hal ini dapat dilihat ketika beliau menapaki tangga keanggotaan dewan legislatif Mesir, dimana pemerintah tidak lagi mengacuhkan masukan-masukan Majelis Syura. Menurut beliau bahwa kekuasaan terhadap penyelenggara negara harus dibatasi. Pemerintah harus siap terhadap setiap koreksi yang dikemukakan oleh rakyat atas segala kekhilafannya.
Syekh Muhammad Abduh menggariskan tanah air dengan adanya hubungan yang erat dari seseorang warga negara dengan tanah airnya. Ada tiga hal yang mengharuskan seseorang cinta, gairat dan memperhatikan tanah airnya, yaitu:
a)      Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal keluarga dan sanak saudara
b)      Sebagai tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang keduanya menjadi poros (dasar) kehidupan politik
c)      Tempat mempertalikan diri di mana seseorang akan merasa bangga atau merasa terhina karenanya
b)        Demokrasi dan Pemerintahan
Sejarah Islam menjadi bukti, betapa kuat demokrasi yang dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa pertama Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Khalifah Umar r.a dan kaumnya, ketika ia berkata dihadapan mereka “wahai kaum muslimin, barang siapa melihat suatu penyelewengan dari diriku, hendaklah is meluruskannya”.
Maka berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, “Demi Tuhan, kalau kami dapati pada diri Tuan suatu penyelewengan, maka akan kami luruskan dengan pedang kami”. Berkatalah Umar “Alhamdulillah, Tuhan telah menjadikan di antara kaum muslimin orang yang sanggup meluruskan penyelewengan Umar dengan pedangnya”.
Menurut Syekh Muhammad Abduh, jika prinsip demokrasi menjadi suatu kewajiban bagi rakyat dan penguasa bersama-sama, maka kewajiban pemerintah tehadap rakyat ialah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar, agar dapat mewujudkan kebaikan dirinya dan masyarakat.
c)      Pertalian Undang-Undang Negara dengan Keadilan Negeri
Menurut Syekh Muhammad Abduh, fungsi undang-undang hanya memelihara keadaan yang sudah ada, bukan untuk mengadakan perubahan. Perubahan adat dan akhlak sesuatu umat dan penjurusan kepada sesuatu jurusan hanya bisa dicapai dengan pendidikan, bukan dengan undang-undang. Undang-undang yang menentukan sesuatu hukuman atas sesuatu kejahatan atau pelanggaran tidak akan bisa mendidik umat memperbaikinya, karena semua undang-undang di dunia ini dibuat untuk orang-orang yang menyeleweng dan salah, sedang undang-undang yang membawa perbaikan ialah undang-undang pendidikan agama pada tiap-tiap umat.
Segi Kemasyarakatan
a)      Jiwa Bersama
Menurut Syekh Muhammad Abduh,  jiwa bersama dalam suatu umat harus diperkuat, sebaliknya jiwa individualis harus dikikis habis. Jalannya tidak lain hanyalah pendidikan yang benar. Kemiskinan suatu negeri disebabkan karena tidak ada jiwa pendirian agama dan pendidikan mental, yang apabila tidak bisa dikatakan menyebabkan seseorang merasa bahwa kepentingan negerinya lebih besar daripada kepentingan dirinya atau bahaya yang menimpa negaranya lebih berbahaya daripada yang menimpa dirinya serta memperkuat perasaan seseorang terhadap kepentingan dan bahaya dirinya.
Sebab yang sebenarnya dari kelemahan umat dan masyarakat Islam, menurut Syekh Muhammad Abduh, tidak lain hanya kemiskinan (kelemahan) jiwa manusia, bimbingan yang salah terhadap akal pikiran bukan disebabkan karena tanah Mesir atau langitnya, bukan pula karena tabiat alam (geografi) negeri-negeri Islam lainnya. Yang menjadi sebab kemiskinan (kelemahan) jiwa dan tuntutan yang salah terhadap akal pikiran ialah merajalela rasa keakuan (egoisme) dan rusaknya arti bersama pada jiwa seseorang.
b)        Pendidikan
Obat yang paling manjur adalah ajaran-ajaran agama pada pendidikan dasar. Akan tetapi tidak hanya pendidikan agama saja yang diajarkan hendaknya mata pelajaran yang lain dan ilmu teknik yang berguna bagi si murid dalam hidupnya dan menyebabkan dia tidak kalah dengan orang barat dalam kemampuan menguasai hidup.
Kemudian Syekh Muhammad Abduh mengarahkan kepada orang-orang kaya terutama untuk mewujudkan pendidikan yang diinginkan itu. Menurut beliau, mereka harus memberikan bagian dalam pendidikan, sesuai dengan kewajiban (keharusan) atau kebutuhan sosial yang ada pada mereka.
“Kalau kita teliti keadaan kaum muslimin, untuk mencari sebab-sebab kemerosotannya, maka hanya satu sebab yang kita dapati, yaitu ketidakberesan dalam pengajaran agama. Apakah karena ditinggalkannya sama sekali, ataukah karena cara pemahaman agama tidak melalui jalan yang sebenarnya, seperti yang dialami di bagian negeri-negeri lainnya” ujar beliau.
c)      Kelemahan-kelemahan Masyarakat Mesir
1.      Pembicaraan-pembicaraan masyarakat Islam Mesir menjadi tanda adanya salah pengertian terhadap hidup dan tidak ada perhatian terhadap akhlak.
2.      Perkawinan dipandang oleh Syekh Muhammad Abduh sebagai suatu keharusan sosial. Selain itu poligami dianggapnya sebagai bencana masyarakat, sebab baik orang kaya maupun yang miskin menganggap sebagai alat pemuas hawa nafsu dengan melupakan tujuan poligami yang sebenarnya. Hal ini dilarang oleh syara’ dan tidak dapat diterima pula oleh akal. Karena itu cukuplah kawin dengan seorang istri (monogami), apabila tidak bisa berlaku adil-sebagaimana yang menjadi kenyataan- sesuai dengan firman Tuhan: “kalau kamu khawatir tidak akan dapat adil, maka kawinilah satu istri”(An-Nisa: 3). Dalam ayat itu juga tersebut: “Kawinilah istri-istri yang baik dua, tiga, empat”.(An-Nisa: 3), maka dibatasi berlakunya oleh ayat tersebut diatas.
3.      Ia juga menyebutkan bid’ah dan sampai di mana bid’ah ini menunjukan penyelewengan dalam aqidah. Di antaranya adalah ziarah ke kubur-kubur wali dan membikin rebut orang shalat. Pada waktu ia mencela bid’ah ini belum lagi menjadi mufti atau hakim atau guru, tetapi masih menjadi redaktur harian “al-Waqai’ul-Misriah”.
4.      Ia mencela keras main suap (risywah) yang dipandangnya sebagai tanda kemerosotan akhlak dan kehilangan rasa akan kewajiban. Baik yang menyuap maupun yang disuap sama-sama melakukan kejahatan akhlak bahkan si penyuap lebih besar lagi merosotnya.
5.      Acuh tak acuh terhadap kepentingan umum juga menjadi noda masyarakat Mesir dan masyarakat Islam pada umumnya. Hal ini disebabkan karena putusnya hubungan jiwa satu sama lain. Karena itu seseorang tidak mau kerjasama dengan orang-orang lain untuk mewujudkan sesuatu pekerjaan yang dirasakan manfaatnya bersama-sama, meskipun ia mengetahui bahwa ia akan menderita kerugian juga, kalau pekerjaan itu ditinggalkan.
Segi Aqidah
1.    Aqidah Jabariah
Syekh Muhammad Abduh memandang bahwa pengabdian diri secara mutlak terhadap mazhab-mazhab dan kitab-kitab yang sekarang pada masa akhir Islam tidak saja bertalian dengan lemah kepribadian-keilmuan pada masanya dan tidak sejalan dengan kepribadian Islam yang pertama dalam langkah-langkahnya yang positif dan baik terhadap Al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga berhubungan erat dengan aqidah atau paham Jabariah.
Akibat aqidah Jabariah bukan saja seseorang merasa dirinya lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan orang lain, karena aqidah Jabar pada hakikatnya hanya bisa hidup atas penghapusan kepribadian dan wujud diri sendiri. Meskipun seharusnya penghapusan ini hanya terjadi dalam hubungan dengan Tuhan saja, tetapi karena kelemahan pribadinya ia menganggap bahwa penghapusan tersebut juga berlaku dalam hubungannya dengan sesama makhluk. Seorang pemikut Jabar adalah orang orang mukmin yang negatif dalam hidupnya. Salah satu ciri perbuatannya ialah selalu bersandar kepada orang lain, meskipun orang lain ini sebenarnya lebih lemah daripadanya. Bagaimapun juga, paham Jabar sesuai dengan taqlid, yang kedua-duanya menjadi tanda kelemahan dalam hidup.
Kalau manusia mempunyai kepercayaan (aqidah), maka aqidah Jabariah dan Murjiah-lah yang mereka pegangi, seperti: “Manusia tidak mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatannya. Karena itu tidak salah kalau ia meninggalkan kewajiban atau memperkuat kesalahan. Atau rahmat Tuhan meliputi segala sesuatu dan semua dosa pasti diampuni, karena itu manusia bisa berbuat sekehendaknya.”
Syekh Muhammad Abduh tidak puas kalau kepercayaan seseorang mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab kepercayaan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan kelemahan manusia dan menyebabkan ia kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu beliau menentang paham Jabar dan menyerukan paham Ikhtiar (indeterminism-free will), agar seseorang muslim menjadi orang yang kreatif.
Dalam soal Ikhtiar, ia menunjuk ayat-ayat yang berisi penyandaran dan amal kepada mausia dan ayat-ayat lain yang berhubungan balasan di akhirat dengan perbuatan dunia, seperti: “Sesungguhnya tidak ada pada manusia kecuali apa yang dikerjakan dan pekerjaannya itu akan terlihat”. (An-Najm: 39-40).
Alasan lain Syekh Muhammad Abduh dari filsafat adalah tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu bahwa manusia yang bebas merupakan batu (anggota) yang positif dalam pembinaan masyarakat. Karena itu menjadi landasan yang kuat, dan tidak boleh bermalas-malasan, tidak kendur dalam berbuat, bahkan sebaliknya harus bersikap produktif. Dalam jawaban polemik yang dikemukakan oleh Hanotau, ahli ketimuran Prancis, Syekh Muhammad Abduh mengatakan sebagai berikut:
“Orang Eropa menganggap tidak ada perbedaan antara kepercayaan tentang qadla dan qadar dengan kepercayaan terhadap Jabar, yang mengatakan bahwa manusia hanya dipaksa semata-mata sebagai alat dalam semua perbuatannya. Mereka mengira, bahwa dengan kepercayaan qadla dan qadar, kaum muslimin menganggap dirinya seperti bulu yang digantung di udara, yang hanya diombang-ambingkan oleh angin kemanapun arahnya. Pendapat-pendapat ahli ketimuran tersebut diikuti oleh orang-orang yang lemah otaknya di dunia timur.”
Syekh Muhammad Abduh dengan tegas mengatakan bahwa pendapat tersebut salah. Tidak ada seorang Islampun yang berpaham Jabar dengan pengertian tersebut, tetapi ia percaya bahwa dirinya mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatan-perbuatannya, yaitu yang disebut “kasb” sebagai tempat menggantungkan pahala dan siksa. Memang dahulu pernah ada golongan Safstah palsu (sophisten) dan sudah lenyap pada akhir abad ke-4 hijrah.

2.    Hubungan Akal dengan wahyu
Dalam menjelaskan hubungan akal dengan wahyu atau dengan perkataan lain antara golongan rasionalis dengan golongan tekstualis dalam Islam, pendapat syekh Muhammad Abduh sama dengan pendapat Ibnu Rusyd yang hidup pada abad ke-6 H dan dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang hidup pada abad ke-8 H, yaitu bahwa wahyu mesti sesuai dengan akal. Ia mengatakan sebagai berikut:
“Al Qur’an memerintahkan kita untuk berfikir dan menggunakan akal pikiran tentang gejala-gejala alam yang ada di depan mata kita dan rahasia-rahasia alam yang mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukan Tuhan kepada kita. Al Qur’an melarang kita bertaqlid, sewaktu menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu yang dicela karena mereka merasa cukup mengikuti nenek moyangnya. Taqlid adalah sesuatu kesesatan yang dapat dimengerti kalau terdapat pada hewan, akan tetapi tidak pantassama sekali untuk manusia”
Katanya pula: “Kami yakin, bahwa agama Islam adalah agama kesatuan (tauhid) dalam segi-segi kepercayaan, bukan agama perpecahan dalam persoalan pokok (prinsip). Akal pikiran menjadi kawan Islam yang terkuat, dan dalil naqli menjadi tiangnya yang utama. Selain itu hanyalah kemauan syetan-syetan atau keinginan orang-orang yang mau berkuasa”.
Jadi wahyu dalam risalah Tuhan menjadi salah satu tanda kekuasaan tuhan, dan akal juga menjadi salah satu tanda kekuasaan-Nya dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan Tuhan mesti sesuai satu sama lain, dan tidak akan berlawanan karena:
a.     Kedua-duanya menjadi tanda kekuasaan zat yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan ada perlawanan antara tanda-tanda tersebut, karena perlawanan itu berarti suatu kelemahan
b.     Wahyu menjadi sumber petunjuk dan akal manusia juga menjadi sumber petunjuk. Kedua-duanya bertujuan untuk menentukan jalan yang lurus untuk kehidupan manusia, dan menentukan tujuan terakhir dari kehidupan ini. Dua hal yang demikian keadaannya mesti tidak berbeda pada garis besarnya dalam menentukan jalan dan tujuan hidup manusia
Sebelum Syekh Muhammad Abduh dan Ibnu Rusyd, dengan nada yang sama, menulis bukunya yang berjudul “fashlul maqal fima abinal hikmati was syari’ati minal ittisal” (pasal pembicarakan tengtang perjanjian anatara hikamah (filsafat dengan syara’). Ibnu Taimiyah pun menulis bukunya yang berjudul “muwafaqatu shahihi al-Manqul li Sharihil Ma’qil” (persesuaian dalil naqli yang sahih dengan dalil akal yang jelas (benar).
Syekh Muhammad Abduh agak berbeda dengan dalam menguraikan pertemuan wahyu dengan akal. Ia hendak menyatakan bahwa fitrah kejadian manusia yang berhubungan dengan akal, tidak bertentangan dengan tanda lain dari kekuasaan Tuhan dan bekas-bekasnya pada alam semesta, terutama dengan risalah wahyu, seperti yang termuat dalam Al Qur’an dan dalam bentuknya yang asli.
Segi Pendidikan dan Tuntutan Umum
1. Fanatik Mazhab
Syekh Muhammad Abduh menjadi masyarakat Islam sudah terpecah belah menjadi golongan dan aliran-aliran, sehingga tidak lagi merupakan sutu kesatuan umat yang mempunyai unsur-unsur kejayaannya. Hal ini disebabkan karena kuatnya pemujaan mutlak terhadap mazhab-mazhab yang telah ada. Sebenarnya bermacam-macam mazhab-mazhab dan aliran-aliran, baik dalam bidang hukum atau akidah, yang tidak membahayakan umat. Tetapi yang membahayakan adalah kuatnya kekuasaan mazhab atau aliran itu pada diri pemeluk-pemeluknya, sehingga tidak berani mengkritik atau mengadakan evaluasi terhadapnya.
Karena itu Syekh Muhammad Abduh mengadakan evaluasi terhadap aliran-aliran tersebut, dengan tidak memberikan penilaian yang mutlak atas sesuatu aliran tertentu. Aliran tersebut semuanya dipandangnya sebagai aliran pengulas (penjelas-syarih) dasar-dasar Islam dan ajaran-ajarannya, yang bisa salah atau benar, sesuai dengan sifat pengulas tersebut, sebagaimana manusia biasa. Oleh karena itu, suatu mazhab atau aliran terutama pengikut-pengikutnya tidak berhak sama sekali untuk mengatakan bahwa hanya dirinya semata-mata yang benar atau yang mencerminkan islam yang sebenarnya.
Ulama-ulama pada masanya, terutama ulama al-Azhar menganggap bahwa ilmu tauhid dengan segala perdebatan yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu tersebut antara aliran-aliran ilmu kalam waktu membentangkan dalil-dalilnya masing-masing. Merupakan jalan yang baik untuk menanamkan aqidah yang benar terhadap Tuhan di antara kaum muslimin. Karena itu kedudukan tauhid, diantara ilmu-ilmu keislaman yang menjadi bahan tuntunan islam, datang tingkatannya sesudah Al Qur’an dan ilmu-ilmu Al Qur’an. Artinya langsung sesudah suatu pembahasan yang berhubungan dengan sumber pertama Islam.
Syekh Muhammad Abduh berbeda pendapat dengan ulama-ulama di atas yang memberikan penilaian lain terhadap ilmu tauhid dan penilaiannya ini sesuatu yang pernah dikatakan oleh Imam Ghazali dan Imam Juwaini, yaitu bahwa ilmu tauhid hanya bisa dipakai untuk melatih akal-pikiran, tetapi tidak bisa menjadi alat untuk menanamkan aqidah Islam ataupun mengkokohkannya sama sekali. Jalan yang terbaik adalah metode Al Qur’an sendiri dalam menguraikan dakwah Islamiah dan mengajak orang banyak untuk memenuhi suruhan itu, yaitu metode “iqna’i” (pemuasan hati), suatu metode yang memperhatikan fitrah manusia yang universal.
Pendapat Syekh Muhammad Abduh tentang aliran-aliran Teologi Islam dikemukakan dalam ulasannya terhadap kitab “syarah risalah al-adhudiah”, karangan Jalaluddin ad-Dawwani. Al-Iji, pengarang matan (inti) risalah tersebut, waktu menafsirkan hadis Nabi SAW tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan, dimana golongan yang selamat hanya satu, maka dikatakannya bahwa yang dimaksudkan oleh hadis adalah aliran Asy’ariyah. Atas tafsiran ini Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa hadis mengatakan bahwa hadis Nabi SAW tersebut berisi tiga hal, yaitu:
1)      Ada perpecahan di kalangan umat, sehingga menjadi bermacam-macam golongan
2)      Diantara golongan itu selamat hanya satu
3)      Yang selamat, seperti yang dijelaskan oleh Nabi sendiri, ialah yang mengikuti apa yang dijalankan oleh beliau dan sahabat-sahabatnya (mengikuti jejak nabi dan para sahabat)
Dengan pendapat tersebut beliau telah menggoyahkan pemujaan kefanatikan terhadap mazhab dan keagungan mazhab atau aliran yang sebenarnya hanya dibuat-buat oleh pengikut-pengikutnya, serta kekuasaan mutlak mazhab atau aliran tersebut atas jiwa mereka. Dengan tindakan itu, beliau bermaksud agar umat islam kembali kepada sumber islam yang pertama yaitu Al Qur’an, kemudian hadis yang sahih, sebagaimana yang terjadi pada awal kejayaan Islam.
2. Ijtihad dan Taqlid
   Dua hal yang mendorong Syekh Muhammad Abduh untuk menyerukan Ijtihad, yaitu Tabiat hidup dan tuntutan kebutuhan manusia. Walaupun Syekh Muhammad Abduh membuka pintu  ijtihad, tetapi dia mencela Taklid. Karena taklid akal manusia didudukkan dalam suatu tempat tertentu yang tidak boleh dilampauinya. Hal ini bertentangan dengan fungsi akal, dengan tabiat hidup dan dengan sifat prinsip islam itu sendiri.
Syekh Muhammad Abduh bukan saja mencela taklid sebagai prinsip, juga karena taklid telah mencapai bentuk yang sedemikian rupa, yaitu ketundukan yang bulat terhadap suatu kekuasaan madzab yang telah menggariskan arah tertentu yang menyimpang jalan lurus.
3. Kekuasaan Kitab tertentu
   Menurut beliau pengaruh kitab-kitab yang dikarang pada masa Mutakhir, yaitu masa kemunduran dan kelemahan, sama dengan kefanatikan terhadap madzab yang telah dibicarakan, yaitu pengaruh negative dalam memberikan bimbingan serta menghambat jalan alam pikiran sehingga tidak dapat menghadapi peristiwa hidup dan perkembanganya.
Beliau berkata, “Mereka membaca kitab Ushul Fiqih. Tetapi seorang pun tidak terlintas dalam hatinya untuk mengembalikan soal-soal furuk dalam kitab-kitab fiqih kepada landasanya atau pun mencarikan dalilnya. Bahkan mereka tidak malu-malu lagi berkata ‘Kami ini bertaklid, tidak perlu mencari dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah’ mereka merasa terikat erat langsung dengan kitab karangan Ulama sebelumya, meskipun saling berlawanan dan bertentangan isinya yang telah mencerai beraikan kesatuan umat Islam. Para fuqaha sudah merasa cukup untuk mengatakan ‘Toh mereka semua dari Rasul dan menerima ilmu’ ”.









BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN

Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh pembaharu dalam Islam. Beliau dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di propinsi Gharbiyyah. Sejak kecil beliau telah memiliki banyak kelebihan dan orang tuanya mendidiknya dengan sangat keras sehingga membuat akhlak beliau terjaga. Tetapi pandangan antara ayahnya dan beliau sangat bertentangan yang membuat beliau sering kabur ketika memasuki masa perkuliahan.
            Adapun teologi yang beliau keluarkan meliputi Segi Politik dan Ketanah-airan, Segi Kemasyarakatan, Segi Aqidah, Segi Pendidikan dan Tuntutan Umum. Masih banyak lagi teologi yang diungkapkan oleh beliau, tetapi kami hanya dapat membahas sedikit tentang teologi yang beliau utarakan dan yang sekiranya tersebar di masyarakat.



 by: fitriya hanun mufida
       agung setiawan
       rina zahrotun f.







DAFTAR PUSTAKA


Sahal, Muktafi, dan Ahmad Amir Aziz, TEOLOGI ISLAM MODERN, Surabaya: Gitamedia Press, 1996.
Hanafi, A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM, Jakarta: PT. AL HUSNA ZIKRA, 2001.
Aziz, Ahmad Amir, PEMBAHARUAN TEOLOGI, Yogyakarta: SUKSES Offset, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar